Thursday, June 14, 2007

MAHALNYA HARGA BANGKU SEKOLAH

Mendekati tahun ajaran baru, hampir setiap hari banyak orang tua datang ke kantor saya ::: Sebagian dari mereka menanyakan pelaksanaan penerimaan siswa baru (PSB). ::: Namun ada sebagian yang datang untuk mengeluhkan mahalnya biaya masuk sekolah ::: Keluhan para tamu kali ini mengingatkan kembali kepada saya kejadian setahun yang lalu pada bulan yang sama, saat saya membaca berita sebuah harian dengan kasus yang serupa ::: Bahkan beberapa hari yang lalu pada suatu sore, saya kedatangan seorang tamu (ibu-ibu) yang menyampaikan maksudnya untuk meminjam uang guna untuk biaya sekolah anaknya ::: Dari berita dan realita tersebut yang dapat saya tangkap adalah betapa sulitnya penduduk kota seperti Jakarta ini untuk menyekolahkan anaknya, sekaligus memberikan gambaran kepada kita betapa mahalnya bangku sekolah hari ini bagi orang miskin ::: Namun di balik keluhan mereka, ada sebuah keterharuan ::: Adalah, kuatnya semangat untuk menyekolahkan anak mereka meski harus menggadaikan barang yang nilainya tak seberapa dan meminjam kesana kemari untuk menutupi biaya sekolah agar anaknya bisa mengecap pendidikan ::: Meskipun ini dilakukan seorang saja, sementara yang lainnya pasrah mengikuti rezeki kehidupan yang diberikan Tuhan ::: Dalam pandangan mereka diyakini, sekolah sebagai instrumen efektif dan tempat untuk mengubah nasib anaknya.

Bagaimana komitmen pemerintah dalam hal dunia pendidikan dan bagaimana peran dinas pendidikan dalam melihat realitas ini ::: Pernyataan ini barangkali akan memiliki makna, ketika ada sebuah penelitian yang mencengangkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan partisipasi usia sekolah pada penduduk ::: Penyebab utamanya bukan disebabkan oleh rendahnya fertilitas, tetapi realitas karena mahalnya sebuah bangku sekolah buat orang miskin. ::: Ini sama halnya ketika kekagetan merebaknya kasus busung lapar (marasmus) yang melanda penduduk Indonesia, akibat kurang optimalnya pelayanan kesehatan selama ini.

Salah satu keluhan orang miskin perkotaan, misalnya, adalah kenyataan betapa banyaknya anak yang terancam tidak bisa membaca, berhitung dan menulis ::: Generasi pertama yang mempunyai hak atas membaca, berhitung dan menulis tanpa sadar terpaksa terus dilarang memasuki jenjang pendidikan berikutnya. ::: Hal ini merupakan cermin etos kerja kita yang amat minimalis ::: Artinya, kita belum bisa memahami bahwa pintu pertama untuk memberi ruang kepada anak-anak untuk mengenal dunia membaca, berhitung dan menulis telah kita tutup rapat bagi orang miskin.

Sikap minimalis telah dibalut oleh pandangan, untuk pintar harus punya duit, dan di dunia ini tidak ada yang gratis ::: Perlakuan ini menyebabkan sebagian kita bertindak individualis yang tidak bisa lagi memberikan ruang toleransi bagi orang lain ::: Celakanya, sikap minimalis ini merambah ke ranah pengambilan keputusan dan kebijakan (policy). Akibatnya lahirlah keputusan baik berupa dengan istilah uang pangkal, uang gedung maupun uang solidaritas pembangunan sekolah yang dilegalkan oleh organisasi bentukan seperti BP-3, POMG pada masa lalu dan Komite Sekolah masa sekarang.

Kekejaman kita hari ini dengan sikap minimalis, semakin menyiapkan kuburan buta huruf bagi generasi berikutnya ::: Maka, sulit berharap terjadi perbaikan HDI (Human Development Index) di daerah ini yang di antara indikatornya tingkat pendapatan penduduk, pelayanan kesehatan dan melek huruf (pendidikan), jika kita tidak pernah berpikir cerdas dan kreatif untuk sekadar memudahkan orang lain menjadikan anaknya bisa membaca, menulis dan berhitung.

Legalitas Kebijakan Keliru

.Konsep pelaksanaan Komite Sekolah yang dikembangkan saat ini sebenarnya sarat tujuan mulia, bahwa setidaknya pendidikan tidak sekadar tanggung jawab pemerintah, tetapi oleh orangtua dan masyarakat ::: Secara teknis pendidikan di sekolah baik berkenaan proses belajar mengajar dan penyediaan fasilitas, membutuhkan dukungan stakeholder yang ada dan dibukanya kran untuk memberikan fleksibilitas dalam pencarian dana terhadap sebagian kebutuhan sekolah.

Namun realitasnya, di ranah fleksibilitas pencarian dana untuk sebagian kebutuhan sekolah masih menggunakan cara konvensional ::: Mengandalkan iuran pada orangtua murid dan setiap tahun ajaran baru dibebankan pada calon murid dan orangtua murid, dengan istilah uang pangkal dan uang pembangunan.

Rendahnya pemahaman pengurus Komite Sekolah, membawa konsekuensi hanya memberikan legalitas terhadap rancangan anggaran pembiayaan yang dibuat pihak sekolah termasuk masyarakat munculnya tuduhan pesta tahunan ::: Ketidakmampuan melakukan analisa terhadap item pembiayaan prioritas dan bukan prioritas, akhirnya berdampak membengkaknya kewajiban yang harus dibebankan pada orangtua dan calon orangtua murid.

Dalam kondisi demikian, secara sosiologis bargaining position orangtua murid sangat rendah karena masih menguatnya faktor psikis katakutan terhadap nilai belajar anak yang akan didapat rendah.

Ketika kebijakan demikian mayoritas diambil oleh mereka yang amat rendah sikap toleransi kepada sesama, yang menjadi korban adalah orang miskin yang tidak mampu bersuara apa-apa dan memutuskan anaknya untuk berhenti sekolah ::: Ditambah antrean orang miskin lain yang siap-siap mundur di depan pintu sekolah ketika ada pengumuman bertuliskan; Biaya Uang Pangkal Murid Baru”

Jadi, plang nama Dewan Pendidikan Kota patut dipertanyakan ::: Karena lembaga tersebut diharapkan mampu memberikan sharing pemikiran terhadap problem pendidikan masyarakat, ternyata begitu sombong dan angkuh ::: Pembentukan lembaga yang didasarkan sekadar akomodatif politik, benar-benar tidak berpihak kepada orang marjinal yang menjerit untuk 'membeli' bangku sekolah.

Sunday, June 10, 2007

LOMBA GURU BERPRESTASI, UNTUK APA?

Guru berprestasi atau lebih kerennya di singkat GUPRES ::: Adalah ajang lomba antar guru untuk meraih predikat guru yang berprestasi ::: Keren memang kedengerannya ::: Namun berprestasi dalam bidang apa? ::: Berprestasi menjawab pertanyaan penguji? ::: Berprestasi memahami makna pendidikan secara makro? ::: Atau benar-benar berprestasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar? ::: Pada prinsipnya tugas guru adalah mendidik dan mengajar ::: Termasuk harus memahami perkembangan murid dari waktu ke waktu di kelas dan di sekolah ::: Sebenarnya guru pula yang seharusnya memiliki tugas untuk mendesain kebutuhan fasilitas pendidikan dan pengajaran di sekolah ::: Karena merekalah yang paling tahu apa yang dibutuhkan di sekolahnya :::Ada empat faktor yang dinilai dalam Pemilihan Guru Berprestasi adalah :::
1. Kemampuan melaksanakan tugas, terdiri dari:
a. Pelaksanaan tugas.
b. Hasil pelaksanaan tugas
2. Kepribadian terdiri dari :
a. Sifat terpuji
b. Jiwa pendidikan
c. Kreativitas
3. Pemahaman wawasan kependidikan, terdiri dari :
a. Visi dan misi terhadap peningkatan mutu pendidikan
b. Pemahaman landasan kependidikan.
4. Partisipasi dalam kemasyarakatan
Keikutsertaan berorganisasi dan atau prestasi yang dicapai dalam kegiatan Seni, budaya, olahraga, Sosial, keagamaan dan kemasyarakatan dan organisasi profesi (surat Kadis Dikmenti Prov. DKI Jakarta).
Sungguh hebat memang faktor penentu guru berprestasi ::: Namun ternyata pada sisi lain biasanya Pemilihan Guru Berprestasi dijadikan sebagai kendaraan untuk mengembangkan karir ::: (baca merubah nasib) dari seorang staf pengajar menjadi kepala sekolah :::
Memang selama ini nasib guru paling sering dibicarakan dan disorot ::: Hal ini karena posisi guru sebagai ujung tombak pendidikan ::: Inilah topik yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, alias abadi sebagai topik ::: Hasilnya adalah, siapapun pemimpin negeri ini, nasib guru tiada kunjung berubah ::: Kenapa harus lewat pemilihan guru berprestasi? ::: Walaupun guru memiliki organisasi yang bernama PGRI ::: Tetapi apa yang dapat diperbuat oleh PGRI untuk mengangkat derajat guru, selama ini belum terasa ::: Atau memang organisasi ini tidak pernah memperjuangkannya ::: Atau memang pemerintah tidak pernah mendengar suaranya ::: Sebaliknya, organisasi guru terlalu santun untuk menjadi oposisi atau kelompok penekan yang tidak bergigi untuk memperjuangkan perbaikan nasib guru ::: Secara singkat bahwa guru yang berprestasi adalah guru yang dapat di gugu dan ditiru ::: Sehingga diharapkan guru yang berprestasi akan menjadikan siswanya lebih baik dalam melakukan proses belajar mengajar ::: Tetapi kalau setiap guru yang berprestasi (gak tau berprestasi dalam bidang apa) diangkat menjadi kepala sekolah ::: Bagaimana kejadiannya kondisi guru-guru yang di sekolah ::: Kepala sekolah sebenarnya berbeda dengan guru ::: Kepala sekolah harus memiliki kemampuan dan berprestasi dalam bidang leadership dan manajerial yang tinggi ::: Bukan lebih dalam bidang pengajaran ::: Makna pemilihan guru berprestasi yang sebenarnya telah bias menjadi tes calon kepala sekolah dari guru yang dianggap berprestasi. Hal ini sudah waktunya bahwa anggapan (baca realita) Gupres akan menjadi kepala sekolah harus dihilangkan ::: Dan dikembalikan kepada makna pemilihan guru berprestasi yang sebenar-benarnya.

Wednesday, June 6, 2007

WATER WAY

Warga Jakarta dan sekitarnya yang ingin menikmati rekreasi transportasi air atau water way, dalam waktu dekat akan terpenuhi ::: karena kemarin (6 Juni 2007) moda transportasi ini telah diresmikan pengoperasiannya oleh Gubernur Sutiyoso ::: Walaupun untuk sementara moda transportasi ini beroperasi pada hari Sabtu dan Minggu pada jam-jam sibuk yaitu untuk pagi pukul 07.00-09.00 WIB ::: sedangkan sore pukul 17.00-19.00 WIB ::: Water way tahap pertama ini menempuh route dari dermaga Halimun hingga Karet sejauh sekitar 1.7 km (Media Indonesia, 7 Juni 2007) ::: Para pengguna transportasi ini tidak perlu merogoh kantong terlalu dalam ::: karena cukup dengan uang Rp3.000 ::: sebuah kapal boat (sampai sekarang baru ada 2 kapal yang beroperasi) berkecepatan sekitar lima knot siap mengantar anda :::Masalah safety tidak perlu dikhawatirkan ::: Karena telah disediakan 35 pelampung bagi setiap kapal yang memiliki kapasitas 28 orang penumpang ::: Disamping juga disediakan alat pemadam kebakaran.

Hayo siapa yang mau nyobain????



Tuesday, June 5, 2007

JOGJAKARTA

Pulang kekotamu ::: Ada setangkup haruku dalam rindu ::: Masih seperti dulu ::: Tiap sudut menyapamu bersahabat ::: Potongan syair lagu Yogyakarya yang di ciptakan oleh Katon Bagaskara ::: Mengingatkan kita akan indahnya, damainya Jogyakarta dengan segala kelebihan dan kekurangannya ::: Liburan tiga hari yang lalu ::: Kembali aku manfaatkan untuk melihat dan menikmati indahnya Jogjakarta ::: Kota yang membuat kangen pada siapa saja yang pernah datang kesana ::: Jajanan sepanjang Malioboro tetap seperti satu tahun yang lalu, ayam bakar, burung dara goreng dan pecel lele yang terhampar disepanjang Malioboro ::: Membuatku harus berhenti untuk menikmati ::: Wedhang Ronde khas Jogyakarta juga tidak ketinggalan ::: Andong yang tiada lelah mengitari jalan Malioboro ke arah alun-alun Selatan ::: Pedagang bathik, dan pernik-pernik lainnya memperindah sepanjang Maioboro.