Mendekati tahun ajaran baru, hampir setiap hari banyak orang tua datang ke kantor saya ::: Sebagian dari mereka menanyakan pelaksanaan penerimaan siswa baru (PSB). ::: Namun ada sebagian yang datang untuk mengeluhkan mahalnya biaya masuk sekolah :::
Bagaimana komitmen pemerintah dalam hal dunia pendidikan dan bagaimana peran dinas pendidikan dalam melihat realitas ini ::: Pernyataan ini barangkali akan memiliki makna, ketika ada sebuah penelitian yang mencengangkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan partisipasi usia sekolah pada penduduk ::: Penyebab utamanya bukan disebabkan oleh rendahnya fertilitas, tetapi realitas karena mahalnya sebuah bangku sekolah buat orang miskin. ::: Ini sama halnya ketika kekagetan merebaknya kasus busung lapar (marasmus) yang melanda penduduk Indonesia, akibat kurang optimalnya pelayanan kesehatan selama ini.
Salah satu keluhan orang miskin perkotaan, misalnya, adalah kenyataan betapa banyaknya anak yang terancam tidak bisa membaca, berhitung dan menulis ::: Generasi pertama yang mempunyai hak atas membaca, berhitung dan menulis tanpa sadar terpaksa terus dilarang memasuki jenjang pendidikan berikutnya. ::: Hal ini merupakan cermin etos kerja kita yang amat minimalis ::: Artinya, kita belum bisa memahami bahwa pintu pertama untuk memberi ruang kepada anak-anak untuk mengenal dunia membaca, berhitung dan menulis telah kita tutup rapat bagi orang miskin.
Sikap minimalis telah dibalut oleh pandangan, untuk pintar harus punya duit, dan di dunia ini tidak ada yang gratis ::: Perlakuan ini menyebabkan sebagian kita bertindak individualis yang tidak bisa lagi memberikan ruang toleransi bagi orang lain ::: Celakanya, sikap minimalis ini merambah ke ranah pengambilan keputusan dan kebijakan (policy). Akibatnya lahirlah keputusan baik berupa dengan istilah uang pangkal, uang gedung maupun uang solidaritas pembangunan sekolah yang dilegalkan oleh organisasi bentukan seperti BP-3, POMG pada masa lalu dan Komite Sekolah masa sekarang.
Kekejaman kita hari ini dengan sikap minimalis, semakin menyiapkan kuburan buta huruf bagi generasi berikutnya ::: Maka, sulit berharap terjadi perbaikan HDI (Human Development Index) di daerah ini yang di antara indikatornya tingkat pendapatan penduduk, pelayanan kesehatan dan melek huruf (pendidikan), jika kita tidak pernah berpikir cerdas dan kreatif untuk sekadar memudahkan orang lain menjadikan anaknya bisa membaca, menulis dan berhitung.
Legalitas Kebijakan Keliru
Namun realitasnya, di ranah fleksibilitas pencarian dana untuk sebagian kebutuhan sekolah masih menggunakan cara konvensional ::: Mengandalkan iuran pada orangtua murid dan setiap tahun ajaran baru dibebankan pada calon murid dan orangtua murid, dengan istilah uang pangkal dan uang pembangunan.
Rendahnya pemahaman pengurus Komite Sekolah, membawa konsekuensi hanya memberikan legalitas terhadap rancangan anggaran pembiayaan yang dibuat pihak sekolah termasuk masyarakat munculnya tuduhan pesta tahunan ::: Ketidakmampuan melakukan analisa terhadap item pembiayaan prioritas dan bukan prioritas, akhirnya berdampak membengkaknya kewajiban yang harus dibebankan pada orangtua dan calon orangtua murid.
Dalam kondisi demikian, secara sosiologis bargaining position orangtua murid sangat rendah karena masih menguatnya faktor psikis katakutan terhadap nilai belajar anak yang akan didapat rendah.
Ketika kebijakan demikian mayoritas diambil oleh mereka yang amat rendah sikap toleransi kepada sesama, yang menjadi korban adalah orang miskin yang tidak mampu bersuara apa-apa dan memutuskan anaknya untuk berhenti sekolah ::: Ditambah antrean orang miskin lain yang siap-siap mundur di depan pintu sekolah ketika ada pengumuman bertuliskan; Biaya Uang Pangkal Murid Baru”